Sabtu, 08 Februari 2014

Contoh 

Hadits/Sunnah Taqririyah



Persetujuan (taqrir) beliau terhadap perbuatan ataupun ucapan sahabat, diistilahkan dengan dengan sunnah taqririyah. Taqrir, yaitu keadaan beliau mendiamkan, tidak memberikan sanggahan terhadap suatu perkara yang dilakukan oleh sahabat berupa perkataan atau perbuatan, baik hal itu dilakukan di hadapan beliau atau tidak, namun beritanya sampai kepada beliau.
Contohnya adalah ketika dihidangkan kepada beliau makanan daging biawak oleh sahabat Khalid bin Walid, dalam salah satu jamuan makan. Beliau bersama para undangan dipersilakan makan, namun beliau menjawab: “Tidak (maaf). Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik padanya.” Kata Khalid: “Segera aku memotongnya dan memakannya, sedang Rasulullah saw. melihat kepadaku.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam peristiwa itu Khalid bin Walid dan beberapa sahabat lainnya memakan daging biawak tersebut dan disaksikan oleh Rasulullah saw. Dalam redaksi yang lain dikatakan: “Tidak, hanya binatang ini tidak ada di negeri saya karena itu saya tidak suka memakannya. Makanlah, sesungguhnya dia itu halal“. (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan keadaan demikian maka sunnah tersebut juga bisa dikatakan sebagai sunnah qauliyah, karena Nabi saw. memberikan jawaban tentang mengapa beliau tidak mau mencicipinya. Sehingga sunnah tersebut memiliki dua kedudukan sekaligus, yaitu sunnah taqririyah dan sunnah qauliyah
Demikian juga dengan perniagaan sistem mudharabah (berniaga dengan harta orang lain kemudian terjadi bagi hasil) adalah sudah berlangsung secara turun temurun sejak zaman jahiliyah lalu Nabi saw tidak mengingkarinya. Beliau hanya mengharamkan perdagangan yang mengandung unsur riba serta sarana yang mengarah ke sana, atau sesuatu yang dengan sarana dagang itu terjadi tindakan haram.
Nabi saw menerima keislaman keluarga orang-orang musyrik yang kemudian masuk Islam dengan tidak mengusik pernikahan mereka yang dilakukan secara jahiliyah. Sehingga pada saat mereka sudah Islam tidak perlu mengulang lagi pernikahan tersebut dengan cara Islam. Begitu juga dengan harta-harta mereka tidak diusik, padahal mungkin berasal dari riba, judi dan penghasilan haram lainnya, yang mereka usahakan sebelum masuk Islam.
Nabi saw setuju saja pada sahabatnya untuk mendendangkan syair-syair yang baik, menyebutkan hari-hari jahiliyah, mengadakan perlombaan jalan kaki, tidak mengecam senda gurau yang mubah, membiarkan orang yang tidur di masjid. Beliau tidak mengingkari terhadap sahabat yang bersikap bangga diri pada saat perang serta memakai sutra pada saat itu. Beliau juga setuju siapa saja yang menyatakan diri sebagai seorang pemberani dengan memberi bulu atau tanda yang lain.
Beliau juga tidak mengingkari pakaian yang ditenun oleh orang-orang kafir, serta menggunakan uang yang mereka buat yang di dalamnya ada kemungkinan gambar raja-raja atau pujaan-pujaan mereka. Kenyataannya juda Rasulullah saw dan para khalifah belum pernah mencetak mata uang sendiri baik dalam bentuk dinar atau dirham. Dalam transaksi, beliau dan para sahabat menggunakan mata uang orang-orang kafir, bahkan terjadi kerjasama dalam perdagangan
Nabi saw juga tidak melarang sahabat yang melakukan shalat sunnah antara adzan maghrib hingga menjelang shalat. Beliau mendiamkan para sahabatnya terkantuk-kantuk sambil menunggu waktu shalat, dan tidak memerintahkannya untuk mengulangi wudlunya.
Kisah lainnya adalah diamnya Rasulullah saw ketika melihat para wanita berjalan keluar rumah untuk pergi ke masjid. Para wanita itu mendengarkan ceramah-ceramah beliau dalam suatu pertemuan. Demikian juga tatkala Nabi saw. mengutus orang dalam peperangan. Orang itu membaca suatu bacaan dalam shalat yang diakhiri dengan qul huwallahu ahad. Setelah pulang mereka menyampaikan hal itu kepada Nabi saw. Lalu kata Nabi saw, “Tanyakan kepadanya mengapa ia berbuat demikian!” Mereka pun menanyakannya, dan orang itu menjawab, “Kalimat itu adalah sifat Allah dan aku senang membacanya”. Maka jawab Nabi saw, “Katakan kepadanya bahwa Allah pun menyenangi dirinya”. [1]
Sunnah-sunnah semacam ini sangatlah banyak dan para sahabat telah menjadikan sunnah ini sebagai hujah, dan juga para ulama Islam. Jabir adalah sahabat Nabi saw, yang menjadikan hal ini sebagai hujah tatkala ia dan beberapa sahabat lain melakukan ‘azl[2], sementara Al Qur’an saat itu masih turun.
Bentuk taqrir ini kadangkala berupa komentar Nabi saw. (taqrir qauliyah), kadangkala hanya diam atau tidak mencegah suatu perbuatan yang dilakukan oleh sahabat. Jadi yang menjadi syarat taqrir adalah suatu perbuatan atau perkataan yang dilakukan oleh para sahabat beliau, bukan orang kafir, musyrik, atau munafik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar